Jumat, 29 Agustus 2008

weekend #2



Grissee. Warung kopi ini sudah hampir setahun menjadi warung kopi langgananku. Di sini aku menjadi dekat dengan Gusti dan Ega – yang kemudian menjadi ‘keluarga jadi-jaian’ bersama dengan Meniq juga. Ega dan Meniq sebagai para orangtua, Gusti dan aku yang menjadi si Bungsu dan si Sulung.

Atas permintaan Gusti, kami ber-empat akan ngopi bersama di Ningratri (warung kopi di Jalan Kaliurang) pukul setengah enam keesokan paginya. Itulah mengapa Meniq ke tempatku pada malam sebelumnya karena kami ber-empat (khususnya Meniq dan aku) memiliki masalah dengan bangun pagi.

Nikmat rasanya. Udara masih bersih dan dingin dengan kopi yang panas. Gusti dan aku membeli bubur ayam dan opor lontong yang dijual tepat di depan Ningratri sebagai sarapan. Pagi itu diisi dengan tawa – sebagaimana yang biasa kami lakukan (kecuali jika kami sedang membicarakan hal serius yang mengenai salah satu di antara kami). Gusti membawa serta mainan kayunya yang membuat hampir seluruh waktu dan ‘keluarga’ ikut serta dalam proses pemecahannya. Ega sudah harus pergi pukul setengah sembilan – belanja untuk keperluan Grissee – Gusti mengikutinya karena Ega yang mengantarkannya pulang.

Meniq dan aku sarapan di alun-alun – makan nasi kucing dan sate kerang di angkringan yang letaknya dekat dengan kandang gajah (dua gajah, tepatnya – yang menggoyang-goyangkan kepala tanpa henti dan mengeluarkan suara seram setiap membuka mulutnya – mengantuk, barangkali?). Kami membicarakan banyak hal saat itu, mulai dari masalah keluarga hingga ‘apa yang sebenarnya kita inginkan dan akan jadi apa kita nanti’ – dan sangat-sangat menikmatinya, lebih karena kami sudah sangat jarang pergi hanya berdua dan ke tempat yang jauh berbeda dari yang kami temui setiap hari. Entah karena masuk angin atau perut yang kaget karena tiba-tiba diisi makanan, kami bergerak menuju GKI Ngupasan – ‘meminjam’ toilet. Tepat di seberang gereja tersebut, motor Meniq mati. Bensin masih penuh, jadi pastilah ada yang salah pada motornya. Kami mendorong motor dengan masih mengenakan helm bagaikan dua kecebong ke bengkel kecil di Pasar Patuk. Si Bapak mencoba menghidupkan motornya. Berhasil. Meniq bercakap-cakap sebentar penuh takjub dengan si Bapak Bengkel, lalu tanpa tedeng aling-aling, si Bapak melesat dengan menaiki motor Meniq. Kami langsung terbahak-bahak. Speechless.
“Motor gueee... Berak nii gueeee... Huahahahaaaa.....”.
Aku terbungkuk-bungkuk. Tak mampu menjawab. Hanya menunjuk ke arah si Bapak meluncur tadi sambil berulang-ulang menggelengkan kepala.
Lima menit kemudian, si Bapak muncul bagaikan seorang pembalap dengan uban beterbangan. Hanya mencoba meyakinkan bahwa si motor baik-baik saja ternyata.


Meniq memenuhi ‘panggilan alam’nya di toilet Malioboro Mall sementara aku menikmati halaman demi halaman satu majalah seni di Periplus Bookshop. Akhirnya menghabiskan waktu di Foodcourt lantai atas setelah Meniq selesai dan menyusulku.
“Kita kemana ini? Kalau pulang pasti ketiduran dan nggak jadi gereja...’, ujarnya.
“Bonbin (kebun binatang)!!!”, seruku.
“Hahh!!! Tak mau aku!”
“Apa sih masalahmu sama bonbin? Lima tahun aku minta ke bonbin sama kau, tak pernah kau penuhi. Li-ma-ta-huuunnn...”, kataku sambil mengacung-acungkan kelima jariku dihadapannya. Kami tertawa terbahak-bahak karena sudah mengetahui alasan apa yang mengakibatkan Meniq tidak pernah mau mengunjungi Bonbin. Bau.
“Liat buayaaa...??? Yaahhh?? Bua..”
“Brentila Dek,” seru Meniq, “Tak mau aku ke bonbin. Yang lain?”
“Ulen Sentaluuu...!!! Jauh yak?”
“Iya...”.
“Keraton? Hah. Nanti pasti kau takut-takuti lagi aku soal abdi dalem yang galak. Taman Sari? Nggak juga?”.
Menik menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Parangtritis? Sundak? Krakal?”
“Ya ampun Dek. Pantai semua gitu? Jangan ke pantailah Dek ahh.”
“Berarti ke tebingnya Parangtritis. Eh jangan ding. Kita kurang tidur begini, darah rendah pula. Ada juga langsung jatuh. Nyebur. Ga bisa ditolong. Langsung ke palungnya itu na, ga pake pantai-pantai-an.”
“Aku udah lama pengen Bungee Jumping...”, kata Meniq.
“Sin-tinngg. Lajulah kau. Ke tanah tapi.”

Tamansari (atau seharusnya terpisah; Taman Sari?) yang akhirnya kami kunjungi. Agak kesal karena handphone dalam keadaan low-bat dan sewaktu-waktu dapat wafat tanpa pesan terakhir. Ini berdampak buruk bagi kesuksesan pengabdian moment versi amatir. Berjalan sambil sesekali memberi keterangan singkat pada Meniq menurut pengetahuanku (karena pernah ke tempat ini sebelumnya bersama Mama dan mendengarkan keterangan dari tour guide-nya orang lain) dan beristirahat di cafe mungil sekaligus galeri yang terletak sangat dekat dengan tempat wisata tersebut. Gaya gravitasi sungguh-sungguh menunjukkan kekuatannya saat itu – kepala terasa amat berat dan siap terjatuh (lengkap dengan mata terpejam, dengkur mendadak dan aliran air...). Sebelum kami berdua benar-benar jatuh tertidur, perjalanan dilanjutkan menuju Pasar Ngasem.

Meniq – seperti biasa – akan menghampiri kucing pertama yang ia lihat. Pilihannya jatuh pada kucing berambut (tidak layak disebut bulu) putih pemalas yang tidak pernah berdiri pada keempat kakinya. Aku mengunjungi tempatku dulu membeli seekor anak anjing, menemukan seekor anak anjing bermata biru (entah warna asli atau penyakitan) yang membuatku jatuh hati.
“Pak, ingat saya?”, tanyaku, “Yang dulu beli anak anjing totol-totol hitam?”.
“O iya Mbaakk...”, jawab si Bapak dengan nada dan ekspresi yang agak berlebihan, “Masih ada sekarang anjingnya Mbak?”.
“Masih Pak, di teman saya. Kutuan-cacingan begitu waktu baru saya bawa pulang.”
“Iya Mbak, harus langsung dibawa ke dokter...”.
“Oooo... segera Pak, begitu lihat ada cacing lebar-tipis-putih-menggelikan di kotorannya. Nggak dibersihin kan di sini?”, tanyaku sengit. Kasihan melihat anjing-anjing yang tidak terawat di tempat itu. Si Bapak hanya tersenyum. Meniq masih berputar-putar di sekeliling kandang si Pemalas.
“Saya boleh gendong yang ini Pak?”, tanyaku menunjuk si anak anjing bermata biru, “Tapi saya nggak beli.”
Si Bapak mengeluarkan si Mata Biru, “Kenapa nggak sekalian beli aja Mbak? Biar ada temennya yang dulu...”.
“Enggak Pak, nggak ada rencana beli, cuma pengen gendong.”
“Beli aja Mbak...”.
“Nggak mau Pak...”, jawabku tak peduli. Aku menimang si Mata Biru. Kecil, gemuk, halus, lucu. Kecuali si cacing coklat di bagian bawah tubuhnya. Bodo amat. Aku sayang.
Meniq sudah beralih ke hewan ajaib yang bergelantungan dan berakrobat di tangannya.
“Binatang apa itu?”, tanyaku.
“Kukaaaaannnggg....”, jawabnya sambil menyeringai lebar, “Lucu ya Deeekkk...???”.
“Enggak.”
Hewan itu lebih mirip ular berbulu-berkaki saking panjangnya. Setengah monyet. Seperempat koala. Entahlah. Yang pasti si Kukang ini tidak menarik bagiku.
“Namanya Siska Deeekkk...”. Meniq lebih mirip anggota sirkus sekarang dengan si Siska beterbangan dengan satu kaki (atau tangan?) masih bergelayut di tangan Meniq.
Aku beranjak hendak memasukkan si Mata Biru kembali ke kandangnya. Mata Biru menolak. Aku tidak pernah sanggup melihat tatapan mata seperti itu. Tapi lebih lama ia bersamaku, akan lebih sulit bagiku melepasnya. Aku tidak harus membawanya kabur dan dikejar manusia sekampung karena mencuri kan?
“Udah Mbak... Dibeli aja... Dia udah lengket tuh sama Mbaknya...”, si Bapak kembali berusaha.
“Enggak Pak... Bapak bujuk sampai malam juga saya nggak akan beli... Lagian saya juga nggak bawa uang... Bapak nggak mau kan saya bawa dia tanpa bayar?”, tanyaku sambil tersenyum, mengetahui bahwa caraku menjawabnya barusan membuatku memenangkan percakapan.
“Kak, tolongin aku masukin dia ke kandang dong... Nggak mau lepas nih dia... Aku nggak tega... Letakkan dululah makhluk itu Kak...”.
Meniq membantuku mengembalikan si Mata Biru yang masih menatapku saat kami beranjak pergi.
“Apa yang kau pegang tadi Kak? Kangkung? Kakus?”.
“Ku-kang Deeekkk... Lucu yah?”, tanya Meniq berseri-seri.
“Binatang macam apa itu?”, tanyaku. Kedua alisku pastilah sudah bertaut sekarang. Kucing masih masuk akal bagiku – aku bahkan mulai belajar menyukai mereka. Tapi Kukang?
“Lucu tau itu Dek... Aku dulu pernah melihara itu di rumah. Enak diajak main. Lucuuuu...”.

Kami melanjutkan berjalan kaki ke antah-berantah dan memutuskan untuk singgah di satu tempat makan kecil yang murah meriah. Entah daging apa sebenanya yang mereka olah menjadi bakso, entah air apa yang mereka ubah menjadi es teh, yang penting kami mengisi perut dan mendoakan segala yang masuk ke tubuh kami. Kami makan dengan lahap dan pasrah. Istilah Meniq, “Diare, diare deh... Pasrah aku Dek, entah apa-apa aja yang masuk perutku dari tadi...”.

Sempat melewati satu bangunan menarik yang memancing kami untuk masuk dan melihat-lihat. Karena sepi, kami bertanya pada tukang becak yang mangkal di depan gerbang.
“Ini rumah salah satu kerabat Soeharto, Mbak... Masuk aja Mbak, boleh kok liat-liat...”.
“Enggak ah Pak, nggak tau pake uang siapa bikinnya.”
Si Bapak tertawa.
“Eh tapi lucu Dek... Liat-liat aja yok?”.
“Ntarlah ku SMS dulu ya,” jawabku, “Takutnya nggak ada orang di rumah...”.
“Kerabatnya Mbak?”.
“Bukan Jeng. Dia dulu sering bantu-bantu Ompungku bikin pola jahitan.”
Kami tertawa terbahak-bahak.


Ke Gereja Pringwulung sebagai dua alien. Di saat umat lainnya rapi jali dan tampak sepenuh hati mendandani diri mereka, kami berdua dekil dan hanya Tuhan yang tahu siapa yang pantas menyaingi kami berdua dalam hal penampilan. Kantuk semakin menggila, tapi aku pribadi terselamatkan dengan koor yang bagus (tidak seperti paduan suara lainnya yang seakan bernyanyi bagi diri mereka sendiri. Dan altar.). Kembali ke rumah sekitar pukul setengah tujuh. Aku tahu Meniq langsung terlelap hingga keesokan siangnya. Aku sendiri? Tertidur hingga setengah sembilan malam, makan, mengetik dan menggambar beberapa hal hingga pukul setengah satu dini hari, tidur, dan bangun keesokan paginya. Such a great weekend to start a new week.

Tidak ada komentar:


Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...