Senin, 04 Agustus 2008

dalam diam..

Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mewakili bauran perasaanku. Saat rindu, kecewa, jijik dan kagum mengaduk diri mereka dalam satu adonan kental dan pekat. Aku merasa kotor akan semua rasa dan pikirku yang memburuk setiap waktu – tepat di saat aku mengagumi diriku sendiri yang masih dapat menjaga kemurnian rasa dan pikir yang telah ada sejak pertama bersamanya.

Aku tidak pernah menyukai perpisahan. Kata ‘sudah’ atau ‘putus’ bahkan ‘dadah’ sama kejamnya bagiku. Membiarkan seseorang melangkahkan kaki untuk berpaling dan hanya bisa mengawasi saat punggungnya berbalik dariku untuk menjauh. Aku tidak suka pelukan atau ciuman yang sudah kuduga akan menjadi yang terakhir – aku tidak pernah cukup kuat menerimanya sebagai salah satu keping kenangan. Rasanya akan tetap sama persis seperti saat terjadi – sesering apapun kenangan itu muncul. Sakit yang tidak pernah berkurang.

Aku selalu berusaha menghindari luka. Luka yang terdapat jauh di dalamku tanpa seorangpun bisa melihatnya. Luka yang hanya bisa kurasa – dengan rasa nyeri yang selalu sulit kucegah saat masa lalu datang dan pergi dalam satu detik.

Aku benci saat seperti ini. Saat sebuah lagu dengan caranya sendiri membawaku kembali pada momen tertentu. Lagu yang kuhapus dari playlistku, restore dan terputar tanpa sengaja. Lalu tiba-tiba dia ada. Di dinding-dinding kamarku. Pada untaian biji Rosario-ku. Di mataku.

Dia tampak jelas di situ. Aku ingat garis-garis wajahnya yang sempat kurekam dalam sisa waktu kami dulu saat terakhir bersama. Bedanya, kali ini kulitnya tampak lebih gelap. Ia mengenakan baju berwarna hijau yang sudah seperti seragamnya – lengkap dengan kacamata hitam yang menjadi perlengkapan wajib saat terik matahari. Ia berdiri tegak dengan ransel hitamnya, tersenyum lebar ke arahku. Lalu tiba-tiba semua rasa ini muncul. Aku hanya dapat merasakan mereka, tanpa bisa berpikir apapun. Untuk sesaat, waktu seakan membeku. Aku mengangkat wajah dari apa yang sedang kukerjakan. Merasakan tekanan pada tenggorokan dan bagian bawah kedua mataku. Beranjak menjauh ke dalam diriku, mencoba untuk lebih dekat lagi dengan bayang yang tersisa. Semakin dekat, semakin kabur – hingga akhirnya tiada. Perih.

Dalam diam aku berjanji pada diriku sendiri – untuk tidak mempertanyakan apapun lagi. Berjanji untuk sekuatku menyingkirkan semua rasa dan pikir yang jahat atas dirinya. Berjanji untuk tetap mempertahankan keberadaannya di sini. Kalaulah pada akhirnya bayang ini terkikis dan lenyap, biarlah itu karena waktu semata. Bukan karenaku. Dalam diam aku menangis – dan semoga akan tetap menyimpan tangis untuk diriku sendiri. Satu-satunya yang dapat dengan nyata kulakukan saat ini – hanyalah menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sesuatu yang kuyakini dapat membantu mengurangi beban yang menekan dadaku. Sesak ini pastilah akan berkurang, walau perlahan. Bauran rasa ini pastilah akan mencair dan waktu akan mewujudkan rencananya dalam mengisi celah hati dengan kabut. Menutup semua, mengakhiri segalanya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nulisnya kok masih bletotan nggak ngenal format word yang rapi yaaaa


Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...