Jumat, 29 Agustus 2008

weekend #1


“Ayo ber-busway-ria...!!”
Jadilah Gusti (perempuan Bali yang tumbuh di Lampung – salah seorang teman dekat yang memanggilku ‘Kakak’) dan aku berangkat sekitar pukul setengah tiga sore – setelah sebelumnya mengisi perut di salah satu tempat makan kecil dekat kost-ku. Pengetahuan yang minim akan rute busway membuat kami memilih transit di bandara untuk selanjutnya ke Malioboro. Bus pertama yang kami naiki penuh – kami bergelantungan seperti orang-orang di sirkus.
“Aku tinggal pilih ni Tiy, kepala mana yang rada botak dan flat dikit.”
“Kenapa Kak?”
“Mual.”
Kami baru bisa duduk saat menaiki bus berikutnya, kebahagiaan itupun hanya berlangsung sesaat karena masuklah dua anak laki-laki kecil yang sepertinya diharuskan untuk selalu berteriak tepat di kupingku. Seakan satu hati dengan sang Ibu, mereka berdua berlomba-lomba menarik perhatian orang asing yang duduk persis di sebelah mereka denga percakapan yang meletihkan dan membuat agak naik pitam.
“Nama – siapa?”, tanya si orang asing yang keseluruhan mukanya bengkak, merah dan berminyak (aku masih bertanya-tanya bagaimana lemak dapat bergelantungan sedemikian hebat pada bagian wajah).
Kedua anak ini selalu terbahak-bahak sebelum memulai satu kalimat sambil berpandangan – wajah dan gigi ompong mereka membuatku bertambah kesal setiap melihatnya.
“Itu lho... ditanya Om-nya... namanya siapa?”, sang Ibu bertanya sambil mengerling genit.
“... ,” (aku tidak mendengar kata apa yang mereka sebut sebagai jawaban akan nama mereka.
“Yaaa... ya... .”
“Yaaa... ya... ,” dua anak itu mengekor bersamaan. Lalu tertawa. Begitu seterusnya.



Kenyang dengan teriakan-teriakan antusiasme berlebihan dan tendangan-tendangan kecil tanpa sengaja tepat pada bagian tulang keringku, Gusti dan aku turun di halte Hotel Inna Garuda, Malioboro. Berjalan cepat menuju Malioboro Mall karena harus ke ATM dan menyempatkan diri singgah di Periplus Bookshop (toko buku import yang selalu punya buku bagus dengan harga yang juga ‘bagus’) dan Gramedia. Setelah scanning cepat di kedua toko buku tadi, aku memutuskan untuk membeli sesuatu yang mungkin lebih tepat disebut sebagai katalog lukisan (atau memang katalog?) ‘Artfordable’. Buku-buku yang kutaksir akan kutunggu saat pembeliannya jika Papa datang ke Yogya (Papa – sebagaimana Mama – tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya sebesar apapun untuk buku. Papa menjadi istimewa dalam konteks lukis-melukis karena selain menikmatinya, ia juga memiliki pemahaman luas dalam bidang ini).


Kami berdua menyusuri emperan toko di sepanjang Jalan Malioboro – Gusti ingin membeli sandal. Ia akhirnya membeli dompet seperti yang Meniq (sahabatku) dan aku miliki – sangat jauh dari bentuk sandal seperti yang ia cita-citakan. Saat-saat menyusuri Malioboro seperti ini, aku selalu ingat Mama. Jagoan. Gesit dalam bergerak, menawar harga, dan menemukan tempat makan enak. Bukan tempat makan sejenis restoran atau cafe – melainkan tempat makan yang penjualnya menggunakan gerobak.

Singgah di salah satu rumah makan yang (kata Papa – kami pernah kesana bertiga dengan Adekku, Dipa) sudah ada sejak lama. Ruangnya luas dengan langit-langit yang tinggi. Adem. Bukan makanan yang kami cari. Melainkan tempat untuk mengistirahatkan kaki dengan sedikit minuman (walaupun akhirnya memesan mie ayam karena mulut gatal ingin mengunyah sesuatu). Duduk agak lama – Gusti menikmati suasana (“Kayak gini baru ‘berasa’ Yogya, ya Kak...”), aku menikmati si katalog (“Kayak gini judulnya weekend”).


Tempat yang paling lama kami singgahi adalah Mirota Batik. Aku akhirnya mewujudkan impian lamaku – memiliki lampu tidur sekaligus lampu hias (aku agak terganggu dengan sinar lampu meja yang terasa terlalu terang, tetapi tidak dapat benar-benar tenang jika lampu benar-benar mati). Gusti, seperti biasa, selalu menikmati ‘area mainan’. Ia menghabiskan cukup banyak waktu dalam memilih puzzle (puzzle bukan ya? Membongkar dan menyusun kotak-kotak kayu ke bentuk semula – tiga dimensi) yang menurutku semuanya memiliki tingkat kerumitan serupa. Aku sempat bertemu dengan salah seorang alumni Asrama Syantikara (tempatku tinggal selama tiga tahun awal kuliah – Mama dan Tante-ku juga merupakan alumni yang tinggal di sana sejak masuk hingga lulus kuliah dulu) – Kakak pertama yang kukenal. Mbak Upik. Aku ingat dia selalu menaiki dingklik (bangku kayu kecil) untuk dapat menatap cermin wastafel saat sedang membasuh wajah atau menggosok kaki karena ia sangat mungil. Berbincang sejenak, lalu berputar-putar lagi dengan susah payah karena tempat itu sangat ramai.


Duduk di seberang Benteng Vredeburg (aku agak lupa ejaannya). Gusti ingin mencoba sate yang penjualnya berderet-deret tepat di depan Benteng, lagipula ia merasa kurang nyaman dengan orang-orang yang duduk di sekitar kami – kebanyakan laki-laki dengan rambut menyatu ke atas atau mengenakan kupluk. Menyeberang jalan, Gusti mewujudkan impiannya membeli satu porsi sate dengan potongan lontong yang kami bagi bersama. Hampir pukul tujuh malam saat itu – Malioboro menampilkan ciri khasnya yang ramai dan bersahabat – lepas dari keberadaan para copet yang hanya Tuhan dan mereka yang tahu.


Ada festival kuliner di Vredeburg. Lapar sekaligus ingin makan malam, kami berdua beranjak ke dalam. Berkeliling melongok satu demi satu makanan yang ditawarkan setiap stand, Gusti mengejutkanku dengan, “Kakaaakk..!!! Ituu... Ada ulaaarr... Aku lihat yaahh..??”.
Berbagai kalimat larangan tidak digubrisnya – dan aku membiarkannya melengkapi kebahagiaan malamnya dengan melihat ular licin yang ditimang-timang seorang perempuan. Beberapa menit kemudian, ia mendekatiku.
“Udah?”, tanyaku.
“Udah...”, jawabnya dengan suara kecilnya dan raut muka gembira, “Ularnya lucuu... Imuuuttt...”.
Kami sudah hampir melewati stand tersebut saat Gusti berteriak lagi, “Iiiihhh... !!! Itu ada satu lagiii...”, dan langsung meninggalkanku demi melihat ular berikutnya. Saat kembali mendekatiku, Gusti menceritakan bagaimana besarnya ukuran si ular dengan membentuk bulatan tak penuh dari kedua tangannya. Aku manggut-manggut dan masih belum benar-benar sembuh dari peristiwa ular saat Gusti melambaikan tangan. Badut. Aku segera menyeret Gusti menjauh sebelum badut itu menghampiri kami. Ular dan badut. Perfect.
“Mbak? Ini bukunya discount lho Mbak...”, ujar seorang lelaki dari stand di sebelah stand badut.
“Entar Mas. Masih kaget. Sama ular. Badut.”, jawabku.


Kami makan malam sambil menonton pertunjukan tari oleh anak-anak yang panggungnya membelakangi kami. Menyenangkan, sebetulnya, karena bisa mengisi perut sambil meluruskan kaki. Malam itu kami pulang dengan busway, dan Gusti menginap di kamar kost-ku – yang disusul oleh Meniq.


Sebelum tiba di kost-ku – tepatnya setelah turun dari busway, kami masih harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit.
“Kak. Ada bintang...”, ujar Gusti menunjuk dua lampu menara.
“Bukaaann... Itu planet. Yang ini bintang.”, jawabku sambil menunjuk lampu pos ronda.
Kami tertawa berdua – karena lelah dan karena ketololan diri kami sendiri.
“Yang ituu..???”, lanjutku sambil menunjuk empat bayangan yang berjalan di kejauhan, “rintik hujan.”
Wajah Gusti berubah. “Kak, kita lewat gang yang ini aja yok. Ada cowok-cowok.”
Kami berbelok. “Hujan itu ternyata lelaki,” ujarku sambil tertawa ke Gusti yang sudah tidak tertawa. Mungkin ia masih berusaha menyembuhkan ketidaknyamanannya melihat keempat lelaki tadi.
Ada satu sosok berjalan ke arah kami. Aku mengutarakan pikiranku pada Gusti, “Lebih baik empat cowok normal dibanding satu cowok sinting dek...”.
Semakin dekat, semakin jelas. Berantakan, dekil. Orang gila.
Segera kami mengubah topik pembicaraan dengan nada dan raut wajah super-serius. Berpapasan, lalu melewati orang gila itu. Saat kami berada dalam jarak aman (menurut pikiranku) dari orang gila itu, aku bertanya pada Gusti apakah ia mengikuti kami. Gusti menoleh perlahan. “Iya.”
Kami lari terbirit-birit.

Tidak ada komentar:


Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...