Kamis, 27 November 2008

Sri

Gerimis kala itu. Perempuan renta terseok-seok menatap nanar, berdoa akan keping rupiah terlupakan - sementara puluhan, ratusan orang menghabiskan berlembar-lembar kertas demi benda-benda di tepi dalam jalan. "Mana," tanyanya, "Mana." Mengangkat kepala sejenak, lelah menunduk. Seorang perempuan muda berjalan sembari menikmati cairan putih kental dingin dengan taburan coklat warna-warni. Tak sadar si Ibu menjilat bibirnya. "Haus," pikirnya, "Haus." Tidak cukup berani memimpikan butiran nasi, setetes air sudah merupakan bahagia baginya. Sejenak beradu pandang - Ibu tua dan perempuan muda itu.

"Kasihan."
"Cantik."
"Pasti belum makan."
"Pasti orang kaya."
"Apa dikasih uang saja ya?"
"Bagaimana jika aku mengemis padanya?"
Perempuan muda meraba tasnya. Robek. "Eh. Eh." Menoleh kesana kemari. "Copet." Lalu dengan nada yang lebih tinggi. "Copeett!! Copeeeettt!!!!!", menunjuk lelaki yang berlari di kejauhan.
Si Ibu menggeleng. "Bukan rezekiku. Kasihan." Kilau kecil mengunci pandangannya. Dua ratus rupiah. "Lumayan". Mulai mencari lagi.

Benaknya berjalan-jalan tak setia meninggalkan mata yang masih bergerak-gerak mengawasi setiap inci jalan. Hanya hati yang berharap teguh akan sekeping limaratusan atau bahkan lembaran seribu. Pelan-pelan imaji air tergantikan oleh perempuan tadi. Perempuan muda dengan minuman enak. Perempuan yang kecopetan. "Sri pastilah sudah sebesar itu. Secantik itu. Ah, lebih cantik bahkan." Bayi perempuan kecil mengambil alih panggung utama. Bayi dalam keranjang kecil - keping kenangan terakhir yang ia punya. "Seandainya aku tidak meninggalkannya dulu. Tak tega juga bila ia ikut aku hidup seperti ini. Tidak, tidak. Bukan egois. Itu demi kebaikannya." Lalu ia merindu. Setitik bening air menggenang di pelupuk mata. Tempat itu telah tutup. Tak pernah sempat ia menjenguk.

"Aduh!"
Perempuan kecil menoleh, memamerkan giginya dan kembali berlari. Sang Ibu mengusap dada, sedikit heran ia tidak terjatuh mengingat perutnya yang lapar. Gerimis berganti hujan, tetes-tetes tumpul berderap membasahi rambut putihnya. Entah peluh ataukah tetes hujan mengaliri pelipisnya "Aku duduk saja". Menyeberang perlahan menuju pusat perbelanjaan di sisi kanan jalan Malioboro. Memilih tempat, bersandar dan melirik. Alangkah senangnya orang-orang itu bisa makan disana. Menyantap ayam goreng berkulit renyah dengan nasi yang hangat. Atau tangkupan roti bulat berisi daging tebal. "Itu? Apa itu?" Tampaknya persis seperti yang dinikmati perempuan muda tadi. "Ah, dia. Sri pastilah serupa dengannya." Sibuk mengingat wajah sang putri kala kecil, lupa mengadahkan tangan sebagai tanda ia meminta, memohon.

"Dibantuin orang-orang tadi. Mas-Mas yang jualan."
"Dapat?"
"Iyalah. Hujan begini, susah lari di emperan. Kan penuh. Mana banyak yang teriak, lagi. 'Copet! Copet!', gitu."
"Syukurlah. Dipukulin nggak?"
"Nggak lihat. Satu orang balikin dompetku. Aku bilang makasih, langsung pergi. Tapi dengar di belakang masih ribut. Eh, Sri?", perempuan itu - Anis - meremas lengan temannya.
"Eh. Apa? Kenapa?", ikut menjulurkan kepala mengikuti arah pandang Anis.
"Ibu itu. Ibu yang tadi."

Dari tangga masuk Sri melihat perempuan tua berambut putih duduk di emperan. Bersandar kuyu dengan mata tersenyum. Gilakah ia? Sri menoleh dan segera sadar Anis menghilang. Segera ia mengambil alat komunikasi mungilnya. Belum memilih nama dari daftar nomor telepon, Anis kembali. Melewatinya dengan cepat. "Nis?"

"Ibu?"
Tak bergeming. Anis menyentuh lembut.
"Bu?"
Kaget, sang Ibu bergeser menjauh. Menatap mata perempuan muda, terbawa jauh ke dalamnya. Sri, pikirnya.
"Ibu, ini. Ada makanan. Semoga Ibu suka."
Tak beranjak sedikitpun dari bening mata itu, tak menghiraukan bungkusan plastik putih yang terulur.
Anis tersenyum. "Ini Bu. Diambil ya, dimakan. Ibu pasti lapar. Atau..." cepat Anis mengambil dompet hitam besar. Membuka, mengluarkan selembar dua puluh ribu. Melipatnya kecil. "Ini Bu, diambil saja. Bisa buat makan nanti malam."
Menoleh karena merasa bahunya disentuh, "Bentar ya. Kasihan Ibunya. Lapar." bisiknya.
Sang Ibu tersadar, pelan menunjuk plastik putih di tangan kiri Anis. "Makannya saja, Dik. Lapar."
Plastik putih berpindah tangan. Susah payah sang Ibu berdiri, tak sopan rasanya tetap duduk saat yang lain berdiri. Lemah kekurangan tenaga sambil mendekap makanan wangi yang hangat. Riak binar kecil di matanya.
Pelan ia bertanya. "Nama kamu siapa Dik?"
"Saya Anis. Ini teman saya, Sri."
"Sri?"
Sri mengangguk dan tersenyum. Sang Ibu mulai merasa terganggu. Sri? Sri anaknya? Putri semata wayangnya? Mungkinkah pengasuh panti tetap menjaga nama itu? Kemana anaknya setelah panti itu tutup?
"Kami pamit dulu, Bu. Mau pulang sudah sore. Ini, untuk Ibu juga."
Sang Ibu menggeleng pelan menolak lipatan kecil berwarna hijau. Matanya liar berpindah-pindah. Anis, Sri. Anis, Sri. Sri.
"Tidak apa-apa, Bu. Buat nanti malam."
"Sri?" tanyanya penuh harap.
"Nis ayo cepat. Jangan-jangan Ibu ini gila."
Anis memasukkan uangnya ke dalam saku celana ketat yang ia kenakan. "Mari Bu...". Tergesa-gesa.
"Sri."
Sempat Anis menoleh sekali. Mata sang Ibu masih mengikuti mereka. Sri menarik lengan temannya.

Satu bulan berselang. Sri berada di kamar Anis setelah menginap malam sebelumnya.
"Ayo foto. Nggak pernah kan foto maskeran?" goda Sri, bersiap-siap mengambil sudut terbaik dengan kamera digitalnya.
Tak berani bicara dengan resiko masker runtuh, Anis memalingkan muka.
"Ayolah Nis... Masker pertama di umur tujuh belas tuh. Hahaha..." Sri masih mengejar tampak depan wajah Anis.
Pintu terbuka.

"Duh, senangnya.", sapa perempuan setengah baya yang masih tampak anggun.
"Tante... Iya ni Tante, Anis nggak mau difoto. Padahal kan lucu muka putih semua begitu."
Perempuan itu tersenyum. "Anis, ayo ikut Mama sebentar. Sri disini dulu ya Nak, nggak lama kok."
Anis beranjak, melambaikan tangan dengan gaya Miss Universe ke arah Sri.
"Lihat nanti, Nis!" dengan derai tawa tersisa.

"Anis, Mama udah janji ke diri sendiri akan ngomongin ini kalau kamu udah genap tujuh belas tahun."
Diam Anis menjatuhkan pandangannya pada amplop besar berwarna coklat di pangkuan sang Mama.
"Anis satu-satunya anak yang Mama dan Papa punya. Kami sayang Anis dan Mama yakin Anis tahu itu. Hanya saja, kami tidak boleh egois, menyimpan Anis untuk diri kami sendiri."
Jantung Anis mulai berdebar. Apa ini? Pembicaraan apa ini?
"Anis tidak lahir dari Mama, walaupun sejak masih sangat kecil tangan Mama-lah yang merawat Anis."
Air mata mulai bergulir membentuk aliran kecil di pipi Anis.
"Mama minta maaf baru menyampaikan ini semua sekarang. Jangan marah Sayang, Mama dan Papa tidak bermaksud menyakitimu..."
"...kamu baru berusia enam bulan..."
"...Panti Kasih Ibu..."
"...tidak pernah ada anak lain di hati kami..."
"...panti itu sudah tutup..."
"...ini dokumen-dokumennya..."
"...surat Ibu kandung Anis..."

Namanya Sri. Maaf saya tinggalkan di sini. Tak sanggup merawatnya. Terima kasih banyak.

Anis tak peduli lagi pada masker putihnya.

Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...