Jumat, 29 Agustus 2008

weekend #2



Grissee. Warung kopi ini sudah hampir setahun menjadi warung kopi langgananku. Di sini aku menjadi dekat dengan Gusti dan Ega – yang kemudian menjadi ‘keluarga jadi-jaian’ bersama dengan Meniq juga. Ega dan Meniq sebagai para orangtua, Gusti dan aku yang menjadi si Bungsu dan si Sulung.

Atas permintaan Gusti, kami ber-empat akan ngopi bersama di Ningratri (warung kopi di Jalan Kaliurang) pukul setengah enam keesokan paginya. Itulah mengapa Meniq ke tempatku pada malam sebelumnya karena kami ber-empat (khususnya Meniq dan aku) memiliki masalah dengan bangun pagi.

Nikmat rasanya. Udara masih bersih dan dingin dengan kopi yang panas. Gusti dan aku membeli bubur ayam dan opor lontong yang dijual tepat di depan Ningratri sebagai sarapan. Pagi itu diisi dengan tawa – sebagaimana yang biasa kami lakukan (kecuali jika kami sedang membicarakan hal serius yang mengenai salah satu di antara kami). Gusti membawa serta mainan kayunya yang membuat hampir seluruh waktu dan ‘keluarga’ ikut serta dalam proses pemecahannya. Ega sudah harus pergi pukul setengah sembilan – belanja untuk keperluan Grissee – Gusti mengikutinya karena Ega yang mengantarkannya pulang.

Meniq dan aku sarapan di alun-alun – makan nasi kucing dan sate kerang di angkringan yang letaknya dekat dengan kandang gajah (dua gajah, tepatnya – yang menggoyang-goyangkan kepala tanpa henti dan mengeluarkan suara seram setiap membuka mulutnya – mengantuk, barangkali?). Kami membicarakan banyak hal saat itu, mulai dari masalah keluarga hingga ‘apa yang sebenarnya kita inginkan dan akan jadi apa kita nanti’ – dan sangat-sangat menikmatinya, lebih karena kami sudah sangat jarang pergi hanya berdua dan ke tempat yang jauh berbeda dari yang kami temui setiap hari. Entah karena masuk angin atau perut yang kaget karena tiba-tiba diisi makanan, kami bergerak menuju GKI Ngupasan – ‘meminjam’ toilet. Tepat di seberang gereja tersebut, motor Meniq mati. Bensin masih penuh, jadi pastilah ada yang salah pada motornya. Kami mendorong motor dengan masih mengenakan helm bagaikan dua kecebong ke bengkel kecil di Pasar Patuk. Si Bapak mencoba menghidupkan motornya. Berhasil. Meniq bercakap-cakap sebentar penuh takjub dengan si Bapak Bengkel, lalu tanpa tedeng aling-aling, si Bapak melesat dengan menaiki motor Meniq. Kami langsung terbahak-bahak. Speechless.
“Motor gueee... Berak nii gueeee... Huahahahaaaa.....”.
Aku terbungkuk-bungkuk. Tak mampu menjawab. Hanya menunjuk ke arah si Bapak meluncur tadi sambil berulang-ulang menggelengkan kepala.
Lima menit kemudian, si Bapak muncul bagaikan seorang pembalap dengan uban beterbangan. Hanya mencoba meyakinkan bahwa si motor baik-baik saja ternyata.


Meniq memenuhi ‘panggilan alam’nya di toilet Malioboro Mall sementara aku menikmati halaman demi halaman satu majalah seni di Periplus Bookshop. Akhirnya menghabiskan waktu di Foodcourt lantai atas setelah Meniq selesai dan menyusulku.
“Kita kemana ini? Kalau pulang pasti ketiduran dan nggak jadi gereja...’, ujarnya.
“Bonbin (kebun binatang)!!!”, seruku.
“Hahh!!! Tak mau aku!”
“Apa sih masalahmu sama bonbin? Lima tahun aku minta ke bonbin sama kau, tak pernah kau penuhi. Li-ma-ta-huuunnn...”, kataku sambil mengacung-acungkan kelima jariku dihadapannya. Kami tertawa terbahak-bahak karena sudah mengetahui alasan apa yang mengakibatkan Meniq tidak pernah mau mengunjungi Bonbin. Bau.
“Liat buayaaa...??? Yaahhh?? Bua..”
“Brentila Dek,” seru Meniq, “Tak mau aku ke bonbin. Yang lain?”
“Ulen Sentaluuu...!!! Jauh yak?”
“Iya...”.
“Keraton? Hah. Nanti pasti kau takut-takuti lagi aku soal abdi dalem yang galak. Taman Sari? Nggak juga?”.
Menik menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Parangtritis? Sundak? Krakal?”
“Ya ampun Dek. Pantai semua gitu? Jangan ke pantailah Dek ahh.”
“Berarti ke tebingnya Parangtritis. Eh jangan ding. Kita kurang tidur begini, darah rendah pula. Ada juga langsung jatuh. Nyebur. Ga bisa ditolong. Langsung ke palungnya itu na, ga pake pantai-pantai-an.”
“Aku udah lama pengen Bungee Jumping...”, kata Meniq.
“Sin-tinngg. Lajulah kau. Ke tanah tapi.”

Tamansari (atau seharusnya terpisah; Taman Sari?) yang akhirnya kami kunjungi. Agak kesal karena handphone dalam keadaan low-bat dan sewaktu-waktu dapat wafat tanpa pesan terakhir. Ini berdampak buruk bagi kesuksesan pengabdian moment versi amatir. Berjalan sambil sesekali memberi keterangan singkat pada Meniq menurut pengetahuanku (karena pernah ke tempat ini sebelumnya bersama Mama dan mendengarkan keterangan dari tour guide-nya orang lain) dan beristirahat di cafe mungil sekaligus galeri yang terletak sangat dekat dengan tempat wisata tersebut. Gaya gravitasi sungguh-sungguh menunjukkan kekuatannya saat itu – kepala terasa amat berat dan siap terjatuh (lengkap dengan mata terpejam, dengkur mendadak dan aliran air...). Sebelum kami berdua benar-benar jatuh tertidur, perjalanan dilanjutkan menuju Pasar Ngasem.

Meniq – seperti biasa – akan menghampiri kucing pertama yang ia lihat. Pilihannya jatuh pada kucing berambut (tidak layak disebut bulu) putih pemalas yang tidak pernah berdiri pada keempat kakinya. Aku mengunjungi tempatku dulu membeli seekor anak anjing, menemukan seekor anak anjing bermata biru (entah warna asli atau penyakitan) yang membuatku jatuh hati.
“Pak, ingat saya?”, tanyaku, “Yang dulu beli anak anjing totol-totol hitam?”.
“O iya Mbaakk...”, jawab si Bapak dengan nada dan ekspresi yang agak berlebihan, “Masih ada sekarang anjingnya Mbak?”.
“Masih Pak, di teman saya. Kutuan-cacingan begitu waktu baru saya bawa pulang.”
“Iya Mbak, harus langsung dibawa ke dokter...”.
“Oooo... segera Pak, begitu lihat ada cacing lebar-tipis-putih-menggelikan di kotorannya. Nggak dibersihin kan di sini?”, tanyaku sengit. Kasihan melihat anjing-anjing yang tidak terawat di tempat itu. Si Bapak hanya tersenyum. Meniq masih berputar-putar di sekeliling kandang si Pemalas.
“Saya boleh gendong yang ini Pak?”, tanyaku menunjuk si anak anjing bermata biru, “Tapi saya nggak beli.”
Si Bapak mengeluarkan si Mata Biru, “Kenapa nggak sekalian beli aja Mbak? Biar ada temennya yang dulu...”.
“Enggak Pak, nggak ada rencana beli, cuma pengen gendong.”
“Beli aja Mbak...”.
“Nggak mau Pak...”, jawabku tak peduli. Aku menimang si Mata Biru. Kecil, gemuk, halus, lucu. Kecuali si cacing coklat di bagian bawah tubuhnya. Bodo amat. Aku sayang.
Meniq sudah beralih ke hewan ajaib yang bergelantungan dan berakrobat di tangannya.
“Binatang apa itu?”, tanyaku.
“Kukaaaaannnggg....”, jawabnya sambil menyeringai lebar, “Lucu ya Deeekkk...???”.
“Enggak.”
Hewan itu lebih mirip ular berbulu-berkaki saking panjangnya. Setengah monyet. Seperempat koala. Entahlah. Yang pasti si Kukang ini tidak menarik bagiku.
“Namanya Siska Deeekkk...”. Meniq lebih mirip anggota sirkus sekarang dengan si Siska beterbangan dengan satu kaki (atau tangan?) masih bergelayut di tangan Meniq.
Aku beranjak hendak memasukkan si Mata Biru kembali ke kandangnya. Mata Biru menolak. Aku tidak pernah sanggup melihat tatapan mata seperti itu. Tapi lebih lama ia bersamaku, akan lebih sulit bagiku melepasnya. Aku tidak harus membawanya kabur dan dikejar manusia sekampung karena mencuri kan?
“Udah Mbak... Dibeli aja... Dia udah lengket tuh sama Mbaknya...”, si Bapak kembali berusaha.
“Enggak Pak... Bapak bujuk sampai malam juga saya nggak akan beli... Lagian saya juga nggak bawa uang... Bapak nggak mau kan saya bawa dia tanpa bayar?”, tanyaku sambil tersenyum, mengetahui bahwa caraku menjawabnya barusan membuatku memenangkan percakapan.
“Kak, tolongin aku masukin dia ke kandang dong... Nggak mau lepas nih dia... Aku nggak tega... Letakkan dululah makhluk itu Kak...”.
Meniq membantuku mengembalikan si Mata Biru yang masih menatapku saat kami beranjak pergi.
“Apa yang kau pegang tadi Kak? Kangkung? Kakus?”.
“Ku-kang Deeekkk... Lucu yah?”, tanya Meniq berseri-seri.
“Binatang macam apa itu?”, tanyaku. Kedua alisku pastilah sudah bertaut sekarang. Kucing masih masuk akal bagiku – aku bahkan mulai belajar menyukai mereka. Tapi Kukang?
“Lucu tau itu Dek... Aku dulu pernah melihara itu di rumah. Enak diajak main. Lucuuuu...”.

Kami melanjutkan berjalan kaki ke antah-berantah dan memutuskan untuk singgah di satu tempat makan kecil yang murah meriah. Entah daging apa sebenanya yang mereka olah menjadi bakso, entah air apa yang mereka ubah menjadi es teh, yang penting kami mengisi perut dan mendoakan segala yang masuk ke tubuh kami. Kami makan dengan lahap dan pasrah. Istilah Meniq, “Diare, diare deh... Pasrah aku Dek, entah apa-apa aja yang masuk perutku dari tadi...”.

Sempat melewati satu bangunan menarik yang memancing kami untuk masuk dan melihat-lihat. Karena sepi, kami bertanya pada tukang becak yang mangkal di depan gerbang.
“Ini rumah salah satu kerabat Soeharto, Mbak... Masuk aja Mbak, boleh kok liat-liat...”.
“Enggak ah Pak, nggak tau pake uang siapa bikinnya.”
Si Bapak tertawa.
“Eh tapi lucu Dek... Liat-liat aja yok?”.
“Ntarlah ku SMS dulu ya,” jawabku, “Takutnya nggak ada orang di rumah...”.
“Kerabatnya Mbak?”.
“Bukan Jeng. Dia dulu sering bantu-bantu Ompungku bikin pola jahitan.”
Kami tertawa terbahak-bahak.


Ke Gereja Pringwulung sebagai dua alien. Di saat umat lainnya rapi jali dan tampak sepenuh hati mendandani diri mereka, kami berdua dekil dan hanya Tuhan yang tahu siapa yang pantas menyaingi kami berdua dalam hal penampilan. Kantuk semakin menggila, tapi aku pribadi terselamatkan dengan koor yang bagus (tidak seperti paduan suara lainnya yang seakan bernyanyi bagi diri mereka sendiri. Dan altar.). Kembali ke rumah sekitar pukul setengah tujuh. Aku tahu Meniq langsung terlelap hingga keesokan siangnya. Aku sendiri? Tertidur hingga setengah sembilan malam, makan, mengetik dan menggambar beberapa hal hingga pukul setengah satu dini hari, tidur, dan bangun keesokan paginya. Such a great weekend to start a new week.

weekend #1


“Ayo ber-busway-ria...!!”
Jadilah Gusti (perempuan Bali yang tumbuh di Lampung – salah seorang teman dekat yang memanggilku ‘Kakak’) dan aku berangkat sekitar pukul setengah tiga sore – setelah sebelumnya mengisi perut di salah satu tempat makan kecil dekat kost-ku. Pengetahuan yang minim akan rute busway membuat kami memilih transit di bandara untuk selanjutnya ke Malioboro. Bus pertama yang kami naiki penuh – kami bergelantungan seperti orang-orang di sirkus.
“Aku tinggal pilih ni Tiy, kepala mana yang rada botak dan flat dikit.”
“Kenapa Kak?”
“Mual.”
Kami baru bisa duduk saat menaiki bus berikutnya, kebahagiaan itupun hanya berlangsung sesaat karena masuklah dua anak laki-laki kecil yang sepertinya diharuskan untuk selalu berteriak tepat di kupingku. Seakan satu hati dengan sang Ibu, mereka berdua berlomba-lomba menarik perhatian orang asing yang duduk persis di sebelah mereka denga percakapan yang meletihkan dan membuat agak naik pitam.
“Nama – siapa?”, tanya si orang asing yang keseluruhan mukanya bengkak, merah dan berminyak (aku masih bertanya-tanya bagaimana lemak dapat bergelantungan sedemikian hebat pada bagian wajah).
Kedua anak ini selalu terbahak-bahak sebelum memulai satu kalimat sambil berpandangan – wajah dan gigi ompong mereka membuatku bertambah kesal setiap melihatnya.
“Itu lho... ditanya Om-nya... namanya siapa?”, sang Ibu bertanya sambil mengerling genit.
“... ,” (aku tidak mendengar kata apa yang mereka sebut sebagai jawaban akan nama mereka.
“Yaaa... ya... .”
“Yaaa... ya... ,” dua anak itu mengekor bersamaan. Lalu tertawa. Begitu seterusnya.



Kenyang dengan teriakan-teriakan antusiasme berlebihan dan tendangan-tendangan kecil tanpa sengaja tepat pada bagian tulang keringku, Gusti dan aku turun di halte Hotel Inna Garuda, Malioboro. Berjalan cepat menuju Malioboro Mall karena harus ke ATM dan menyempatkan diri singgah di Periplus Bookshop (toko buku import yang selalu punya buku bagus dengan harga yang juga ‘bagus’) dan Gramedia. Setelah scanning cepat di kedua toko buku tadi, aku memutuskan untuk membeli sesuatu yang mungkin lebih tepat disebut sebagai katalog lukisan (atau memang katalog?) ‘Artfordable’. Buku-buku yang kutaksir akan kutunggu saat pembeliannya jika Papa datang ke Yogya (Papa – sebagaimana Mama – tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya sebesar apapun untuk buku. Papa menjadi istimewa dalam konteks lukis-melukis karena selain menikmatinya, ia juga memiliki pemahaman luas dalam bidang ini).


Kami berdua menyusuri emperan toko di sepanjang Jalan Malioboro – Gusti ingin membeli sandal. Ia akhirnya membeli dompet seperti yang Meniq (sahabatku) dan aku miliki – sangat jauh dari bentuk sandal seperti yang ia cita-citakan. Saat-saat menyusuri Malioboro seperti ini, aku selalu ingat Mama. Jagoan. Gesit dalam bergerak, menawar harga, dan menemukan tempat makan enak. Bukan tempat makan sejenis restoran atau cafe – melainkan tempat makan yang penjualnya menggunakan gerobak.

Singgah di salah satu rumah makan yang (kata Papa – kami pernah kesana bertiga dengan Adekku, Dipa) sudah ada sejak lama. Ruangnya luas dengan langit-langit yang tinggi. Adem. Bukan makanan yang kami cari. Melainkan tempat untuk mengistirahatkan kaki dengan sedikit minuman (walaupun akhirnya memesan mie ayam karena mulut gatal ingin mengunyah sesuatu). Duduk agak lama – Gusti menikmati suasana (“Kayak gini baru ‘berasa’ Yogya, ya Kak...”), aku menikmati si katalog (“Kayak gini judulnya weekend”).


Tempat yang paling lama kami singgahi adalah Mirota Batik. Aku akhirnya mewujudkan impian lamaku – memiliki lampu tidur sekaligus lampu hias (aku agak terganggu dengan sinar lampu meja yang terasa terlalu terang, tetapi tidak dapat benar-benar tenang jika lampu benar-benar mati). Gusti, seperti biasa, selalu menikmati ‘area mainan’. Ia menghabiskan cukup banyak waktu dalam memilih puzzle (puzzle bukan ya? Membongkar dan menyusun kotak-kotak kayu ke bentuk semula – tiga dimensi) yang menurutku semuanya memiliki tingkat kerumitan serupa. Aku sempat bertemu dengan salah seorang alumni Asrama Syantikara (tempatku tinggal selama tiga tahun awal kuliah – Mama dan Tante-ku juga merupakan alumni yang tinggal di sana sejak masuk hingga lulus kuliah dulu) – Kakak pertama yang kukenal. Mbak Upik. Aku ingat dia selalu menaiki dingklik (bangku kayu kecil) untuk dapat menatap cermin wastafel saat sedang membasuh wajah atau menggosok kaki karena ia sangat mungil. Berbincang sejenak, lalu berputar-putar lagi dengan susah payah karena tempat itu sangat ramai.


Duduk di seberang Benteng Vredeburg (aku agak lupa ejaannya). Gusti ingin mencoba sate yang penjualnya berderet-deret tepat di depan Benteng, lagipula ia merasa kurang nyaman dengan orang-orang yang duduk di sekitar kami – kebanyakan laki-laki dengan rambut menyatu ke atas atau mengenakan kupluk. Menyeberang jalan, Gusti mewujudkan impiannya membeli satu porsi sate dengan potongan lontong yang kami bagi bersama. Hampir pukul tujuh malam saat itu – Malioboro menampilkan ciri khasnya yang ramai dan bersahabat – lepas dari keberadaan para copet yang hanya Tuhan dan mereka yang tahu.


Ada festival kuliner di Vredeburg. Lapar sekaligus ingin makan malam, kami berdua beranjak ke dalam. Berkeliling melongok satu demi satu makanan yang ditawarkan setiap stand, Gusti mengejutkanku dengan, “Kakaaakk..!!! Ituu... Ada ulaaarr... Aku lihat yaahh..??”.
Berbagai kalimat larangan tidak digubrisnya – dan aku membiarkannya melengkapi kebahagiaan malamnya dengan melihat ular licin yang ditimang-timang seorang perempuan. Beberapa menit kemudian, ia mendekatiku.
“Udah?”, tanyaku.
“Udah...”, jawabnya dengan suara kecilnya dan raut muka gembira, “Ularnya lucuu... Imuuuttt...”.
Kami sudah hampir melewati stand tersebut saat Gusti berteriak lagi, “Iiiihhh... !!! Itu ada satu lagiii...”, dan langsung meninggalkanku demi melihat ular berikutnya. Saat kembali mendekatiku, Gusti menceritakan bagaimana besarnya ukuran si ular dengan membentuk bulatan tak penuh dari kedua tangannya. Aku manggut-manggut dan masih belum benar-benar sembuh dari peristiwa ular saat Gusti melambaikan tangan. Badut. Aku segera menyeret Gusti menjauh sebelum badut itu menghampiri kami. Ular dan badut. Perfect.
“Mbak? Ini bukunya discount lho Mbak...”, ujar seorang lelaki dari stand di sebelah stand badut.
“Entar Mas. Masih kaget. Sama ular. Badut.”, jawabku.


Kami makan malam sambil menonton pertunjukan tari oleh anak-anak yang panggungnya membelakangi kami. Menyenangkan, sebetulnya, karena bisa mengisi perut sambil meluruskan kaki. Malam itu kami pulang dengan busway, dan Gusti menginap di kamar kost-ku – yang disusul oleh Meniq.


Sebelum tiba di kost-ku – tepatnya setelah turun dari busway, kami masih harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit.
“Kak. Ada bintang...”, ujar Gusti menunjuk dua lampu menara.
“Bukaaann... Itu planet. Yang ini bintang.”, jawabku sambil menunjuk lampu pos ronda.
Kami tertawa berdua – karena lelah dan karena ketololan diri kami sendiri.
“Yang ituu..???”, lanjutku sambil menunjuk empat bayangan yang berjalan di kejauhan, “rintik hujan.”
Wajah Gusti berubah. “Kak, kita lewat gang yang ini aja yok. Ada cowok-cowok.”
Kami berbelok. “Hujan itu ternyata lelaki,” ujarku sambil tertawa ke Gusti yang sudah tidak tertawa. Mungkin ia masih berusaha menyembuhkan ketidaknyamanannya melihat keempat lelaki tadi.
Ada satu sosok berjalan ke arah kami. Aku mengutarakan pikiranku pada Gusti, “Lebih baik empat cowok normal dibanding satu cowok sinting dek...”.
Semakin dekat, semakin jelas. Berantakan, dekil. Orang gila.
Segera kami mengubah topik pembicaraan dengan nada dan raut wajah super-serius. Berpapasan, lalu melewati orang gila itu. Saat kami berada dalam jarak aman (menurut pikiranku) dari orang gila itu, aku bertanya pada Gusti apakah ia mengikuti kami. Gusti menoleh perlahan. “Iya.”
Kami lari terbirit-birit.

Rabu, 06 Agustus 2008

silence

This is one of those mornings...
When i wake up and some things remind me of you.
It feels like you are here with me,
So close, so tight and the warmth...
The “Lost” song and the silence,
The breath on my neck,
Fingers through my hair...
I sit, and stare at things.
Try to convince ownself of loneliness.
But then there’s a hug from my back
And kisses and words of “Morning...” and “Love you...”.
The “Lost” song still here, either does the silence.
Then there are whisperings around.
Of words.
Calling me. Laugh at me.
And sadness comes.
I can not stand the sounds,
So i invite the sun to shine in.
It’s so bright outside, but my darkness refuse to go.
I hear someone cries.
Then i feel the tears down my cheeks.
I pray for mother, and father, angd brother.
Don’t want to bother to pray for the old love that remains young.
‘Amen’ it was, then a cup of coffee.
‘Amen’ it was, then i take the brushes.
Paint some colors.
Turn out to be you.
Throw the canvas, anger comes.
How can you do such things?
Control me with your presence without even being here?
I have to go.
And if it’s you that i’ll see when it’s time to get back,
I’ll be the one who make you go.
In silence.

Selasa, 05 Agustus 2008

Sore...

Akhirnya memutuskan untuk bertemu teman-teman walaupun keinginan untuk tetap tinggal di kamar dan mempelajari 'Introduction to Pastels and Acrylics' sangat kuat. Aku merindukan area kerjaku yang penuh warna. Merindukan kuas-kuasku, kertas yang bertebaran dan buku-buku penuh gambar sebagai inspirasi. Aku juga merindukan teman-temanku dan suasana sore sambil 'ngopi' bersama. Jadi aku pergi, melakukan rutinitas soreku bersama mereka. Seperti biasanya, bermain poker (dengan kartu remi) adalah kerjaan utama. Aku, Utiy, Dewa dan Ega. Tertawa bersama, saling melemparkan ejekan tanpa sedikitpun rasa sakit hati - dengan kopi hitam manis dalam cangkir kecil putih bergambar bunga.

Ipul datang, "Ini ada hadiah buat kamu". Baru kali ini aku melihat hasil kerjaku nyata dalam satu wujud - gambar hand-drawn pada kaos berwarna hitam sebagai merchandise warung kopi yang sudah seperti rumah kedua bagiku. Ada satu rasa berbeda ketika menyentuh baju itu dan berkata dalam hati, "I made this design". Aku tersenyum, membangun tekad untuk tidak berhenti sampai di situ.

Baju hitam itu ada dalam tas Dewa sekarang (karena tas yang kubawa terlalu kecil untuk dapat memuatnya), menunggu saatnya aku tiba di kost dan tinggal bersamaku. Satu hal yang terpikir olehku sekarang - aku akan membuat sesuatu lagi, tak peduli sekecil apapun. Tanganku adalah harta yang paling berharga, dan aku tidak akan membiarkannya diam begitu saja.

Aku akan pulang dari sini dalam sepuluh menit, lalu mulai bekerja lagi. Mungkin sudah sangat terlambat mengingat usiaku sekarang, tetapi aku yakin Tuhan akan memberi jalan untukku berkarya. Walaupun kecil, tapi itu karya olehku. Tanganku. Duniaku. Hatiku.

Senin, 04 Agustus 2008

perempuan bertudung kelam

Pekik penuh tanya berteriak kejam di telingaku
Pekik tanya ‘mengapa’ dan berjuta ‘mengapa’
Tangis, perih, aku letih...
Aku – perempuan bertudung kelam
Berjalan menunduk menentang alam
Entah hujan ataukah air mata yang membasahi wajahku
Dalam berjalan mengikuti bayangan

Bayangan-bayangan-dan bayangan
Aku berjalan mengikuti bayangku... yang menyusul bayangmu
Tangis, perih, aku letih...
Aku – perempuan bertudung kelam
Menyusuri jalan demi jalan menentang cahaya
Menatap setiap jendela seakan membingkai wajahmu
Entah hujan ataukah air mata yang membasahi wajahku
Dalam berjalan mengikuti rinduku

Rindu, aku rindu...
Entah sampai kapan melangkah meraih titik samar
Membawamu serta dalam hati kecilku
Mencoba melepas dalam tiap tetes peluhku
Aku – perempuan bertudung kelam
Berharap waktu bermurah hati
Akhiri masa berujung luka
Entah hujan – ataukah air mata – ataukah hujan dan air mata
Menemani hari sepi dalam tawaku
Aku menangis dalam diam
Menelan perih dalam malam-malamku

Pagi datang dan berganti
Menit berlalu hingga hari yang baru
Hanya ada kau – dan selalu kau
Aku – perempuan bertudung kelam
Menanti satu waktu dan sedetik adalah harapku
Untuk menatap matamu dan melihatku di sana...

dalam diam..

Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mewakili bauran perasaanku. Saat rindu, kecewa, jijik dan kagum mengaduk diri mereka dalam satu adonan kental dan pekat. Aku merasa kotor akan semua rasa dan pikirku yang memburuk setiap waktu – tepat di saat aku mengagumi diriku sendiri yang masih dapat menjaga kemurnian rasa dan pikir yang telah ada sejak pertama bersamanya.

Aku tidak pernah menyukai perpisahan. Kata ‘sudah’ atau ‘putus’ bahkan ‘dadah’ sama kejamnya bagiku. Membiarkan seseorang melangkahkan kaki untuk berpaling dan hanya bisa mengawasi saat punggungnya berbalik dariku untuk menjauh. Aku tidak suka pelukan atau ciuman yang sudah kuduga akan menjadi yang terakhir – aku tidak pernah cukup kuat menerimanya sebagai salah satu keping kenangan. Rasanya akan tetap sama persis seperti saat terjadi – sesering apapun kenangan itu muncul. Sakit yang tidak pernah berkurang.

Aku selalu berusaha menghindari luka. Luka yang terdapat jauh di dalamku tanpa seorangpun bisa melihatnya. Luka yang hanya bisa kurasa – dengan rasa nyeri yang selalu sulit kucegah saat masa lalu datang dan pergi dalam satu detik.

Aku benci saat seperti ini. Saat sebuah lagu dengan caranya sendiri membawaku kembali pada momen tertentu. Lagu yang kuhapus dari playlistku, restore dan terputar tanpa sengaja. Lalu tiba-tiba dia ada. Di dinding-dinding kamarku. Pada untaian biji Rosario-ku. Di mataku.

Dia tampak jelas di situ. Aku ingat garis-garis wajahnya yang sempat kurekam dalam sisa waktu kami dulu saat terakhir bersama. Bedanya, kali ini kulitnya tampak lebih gelap. Ia mengenakan baju berwarna hijau yang sudah seperti seragamnya – lengkap dengan kacamata hitam yang menjadi perlengkapan wajib saat terik matahari. Ia berdiri tegak dengan ransel hitamnya, tersenyum lebar ke arahku. Lalu tiba-tiba semua rasa ini muncul. Aku hanya dapat merasakan mereka, tanpa bisa berpikir apapun. Untuk sesaat, waktu seakan membeku. Aku mengangkat wajah dari apa yang sedang kukerjakan. Merasakan tekanan pada tenggorokan dan bagian bawah kedua mataku. Beranjak menjauh ke dalam diriku, mencoba untuk lebih dekat lagi dengan bayang yang tersisa. Semakin dekat, semakin kabur – hingga akhirnya tiada. Perih.

Dalam diam aku berjanji pada diriku sendiri – untuk tidak mempertanyakan apapun lagi. Berjanji untuk sekuatku menyingkirkan semua rasa dan pikir yang jahat atas dirinya. Berjanji untuk tetap mempertahankan keberadaannya di sini. Kalaulah pada akhirnya bayang ini terkikis dan lenyap, biarlah itu karena waktu semata. Bukan karenaku. Dalam diam aku menangis – dan semoga akan tetap menyimpan tangis untuk diriku sendiri. Satu-satunya yang dapat dengan nyata kulakukan saat ini – hanyalah menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sesuatu yang kuyakini dapat membantu mengurangi beban yang menekan dadaku. Sesak ini pastilah akan berkurang, walau perlahan. Bauran rasa ini pastilah akan mencair dan waktu akan mewujudkan rencananya dalam mengisi celah hati dengan kabut. Menutup semua, mengakhiri segalanya.

Lapar. Aku lapar.

Aku masih duduk manis di wanet ini - terlalu malas untuk membopong laptop ke kampus (yang jaraknya hanya sejauh 'terpeleset') demi hotspot. Mengisap rokokku sambil sesekali mengirim SMS ke teman di bilik sebelah untuk mengomentari gerombolan perempuan ribut yang kupikir pastilah kesurupan. Aku tidak dapat menemukan alasan lain yang cukup masuk akal untuk menjawab tanya "mengapa mereka harus seantusias itu".

Baru kembali ke Yogya kemarin setelah sekitar sepuluh hari berada di Jakarta - kota yang sangat mengagumkan dengan dua sisi kontras yang bernafas berdampingan. Bayangkan, aku dapat melihat deretan gedung tinggi sebagai latar belakang tumpukan pemukiman kumuh hanya dari satu sudut pandang mataku. Perjalanan yang menguji batin dan iman atas begitu banyak hal menyangkut keluarga - dilengkapi dengan peristiwa di-cancel-nya penerbangan yang seharusnya kulakukan tadi malam (syukurnya Tuhan berbaik hati masih menyisakan satu kursi untukku di penerbangan lain - walau harus berlari-lari menyusuri Cengkareng yang seperti miniatur bola dunia karena ukurannya, dan mengalahkan adegan Dian Sastro dalam film AADC dengan gerakan dan lokasi yang sama) sebagai puncak acara.

Aku akan menulis cerita lengkap mengenai 'si sepuluh hari' ini, tapi bukan sekarang. Aku mulai lapar. Sebelum maag-ku kumat, aku harus segera pergi dan beranjak membeli makan. Lapaaaarrr...... Aku lapaaaarrr...

Questions...

How far can questions go? Can they go through someone's heart or mind? Or flies into somebody's dream? Should they be shouted out loud or just hidden in daily life?
Some questions came in mind within these last few days. Questions of why and how. Some 'who's and 'when's. Questions that hurt, like it's own mark's edge that goes straight down. He was mine. But still here, there and everywhere. Goes slowly in silence.Leave nothing but these questions.
I'm tired. Got to have a new life without any memories left on him. That may let me live in peace without anymore questions left. I love him still. And hate him so. No questions for that.

Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...