Selasa, 14 Oktober 2008

Kabut dan Mama

“Ak lg capek batin d.. Menyadari bhwa stlah sekian lama berlari, ak masih di kilometer nol..”

Begitu isi SMS yang kuterima dari seorang teman sekitar pukul 04:19 pagi. Jawabanku demikian,
“Kdng2, ‘prnyataan diri akan titik nol’ ngebuat ‘kabut’.g kliatan msh ada jalan,ada pilihan,kesempatan.capek memang,tp msh ada 1 titik semangat yg bs dgedein kan?”

Bisa jadi temanku itu berpikiran, “Buset Dib.. Ngomong doang mah enak, gampang. Lu nggak ngerasain soalnya.”
Jawabku untuk itu adalah, “Salah. Aku pun sedang mengalaminya. Sedang belajar menyamangati diriku sendiri.”
Atau, “Yaelah... Kata-kata lu klise.”
Aku setuju. Klise. Tapi aku pribadi mengakuinya, bahwa kabut yang tercipta oleh pikiran dan perasaan diri dapat membuat lebih jatuh lagi, karena yang terlihat hanya sang kabut, dan akhirnya buta jika tidak berjuang menembus si kabut. Tettooootttt.... Anda mengulang kata ‘kabut’.

Kabutku adalah bauran rasa takut, excitement, sedih dan panik yang tebal dan pekat. Jalan di hadapanku – lengkap dengan cabang-cabangnya sudah mulai terlihat walau agak samar. It will always be hard at the first step – tinggal gimana caranya melewati si kabut. Berlari sangat cepat – dengan kemungkinan terjatuh, terluka, dan sebagainya – atau pelan-pelan melewati sisi jalan yang kabutnya lebih tipis dari yang berada tepat di depan mataku.

Setelah melewati beberapa bulan penuh tanya dan rancangan rencana yang hampir mustahil, aku sedikit merasa lega mengetahui Mama akan datang dan siap untuk membicarakan apapun yang sedang kuhadapi sekarang. Kali ini aku tidak datang untuk masalah patah hati – sedih – dan terluka dalam konteks relationship. Aku datang untuk membagi bingung dan lelahku dalam konteks penentuan hidupku. Masih terekam dengan jelas kalimat Mama saat aku masih menduduki bangku sekolah, “Aku temanmu. Apapun masalahmu, ceritakan. Semakin besar kesalahanmu, semakin kecil kemarahan Mama – karena kesalahanmu, adalah kesalahanku juga. Karena kau anak Mama.”

Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun sejak aku menginjak kota ini, aku merasa akan kembali pada masa sekolahku dulu. Masa saat aku dengan bebas biga membagi semuanya dengan Mama dan menceritakan semua hal yang terlewati, tanpa harus takut akan dimusuhi atau dicerca. Satu-satunya yang ada dalam benakku saat ini adalah, “Mama hebat. Setiap kali aku berusaha memutuskan sesuatu sendirian dan merasa takut karena nantinya pastilah akan benar-benar sendirian dalam arti yang sebenarnya, Mama pasti datang – tepat sebelum aku mengambil langkah besar yang salah.”

Aku bisa jadi terlalu pengecut untuk melewati kabutku sendirian. Aku tau batasku – dan aku tidak mau menantang apapun untuk melakukan sesuatu diluar batasku. Aku membutuhkan seseorang sebagai pemanduku. Seperti kata temanku yang mengirim SMS di atas, “Satu-satunya yang tahu apa yang terbaik untuk diri kamu adalah kamu sendiri. Satu-satunya orang yang bisa membantu kamu untuk melakukannya adalah orang yang mengenalmu sejak kamu masih kecil. Orangtuamu.”

Mama.

Tidak ada komentar:


Krisan Putih

Krisan Putih
iniiii.......diaaa........heuehueuehe...