"Wahh.. Kamu mati kutu berarti Mbak?", begitu tanggapan Mas Hery - OB handal kantor ini - demi menanggapi ceritaku tentang 'ketauannya blog-ku oleh orang-orang kantor'. Let's just pray atasanku belum baca juga - kalau engga, aku tinggal nunggu dipecat.
Sebenernya pengen cerita banyak dan detail, tapi udah ga sanggup. Keburu malas begitu tau orang-orang di kantor ini jadi bisa tau apapun yang ada di pikiran dan hatiku. Bukannya apa-apa, cuma kan ga harus semua hal diketahui semua orang, heuehueuhe...
Maluuuu... AKu malu banget. Hal-hal yang cuma aku share ke orang-orang tertentu (dan itu kenapa aku tidak memberitahu address blog-ku ke semua orang) sekarang jadi bisa dibaca dan dinikmati sebagai bahan gosip dan tertawaan. =)
Jadinya kan ngga enak banget mulai sekarang kalo nulis harus jaga-jaga bahasa dan milih kata dengan ati-ati... Bener sih kayak kata Pak Dwijo (ni aku mulai nyebut merek nii...toh udah ketauan aku cerita tentang siapa-siapa aja.gosh...), "harusnya kamu udah siap dibaca ama siapapun dong kalo udah mutusin ngebuat blog begitu..".
Iya bener, aku setuju.. Tapi ngga dibaca orang-orang kantor dong..??Aiiibbb.....Maluuu....Huwwaaaa....
Masih rada kacau nih, makanya nulisnya juga jadi rada ngawur begini. Entar deh kalo udah rada tenang aja. Dan aku harap, kalau berikut2nya aku post apapun lagi ke blog ini, ngga bakal jadi bahan ketawaan. For words mean a lot to me, and so do the colors.
Cheers.. =)
Rabu, 18 Februari 2009
Minggu, 15 Februari 2009
14 Februari 2009
"Diba, kamu entar Valentine-an ama siapa?", tanta seorang senior di kantor.
"Hahh? Ah busett buk. Ga ada raya-raya-an buk. Pengen pulang aku. Tidur."
"Aku entar valentine ama siapa ya?"
"Yailaaa.. DI sini ajah kitaa.. Rame-rame.. Kan ada opening pamerannya anak2 Minang itu juga bu.."
"Kak Dibaa...!! Entar pulang jam berapa? Aku kayaknya bakal sendirian di kost... Valentine ama siapa yaah...??"
"Kakaak.. Met Valentine yah.. Peluk cium dari sini.." (kalo yg ini lewat SMS).
Segitunya yah ternyata efek si Valentine ini buat orang-orang. Salah satu adek kost-ku malah rada tersedu-sedu karena cuma bisa sampe sore bareng laki-nya, jadi mereka ga bisa ngerayain si Hari Cinta ini lebih lama... Udah dari seminggu yang lalu hawa-hawanya si Val ini masuk kuping. Jawabanku sama, "Hahh!! Pulang aku. Tidur. Jogja pasti macet parah dimana-mana. Malam minggu pula..", sementara yang lainnya sudah merancang dan mencita-citakan rundown acara untuk sepanjang tanggal 14 Februari.
Aku tidak pernah merayakan si Val ini - terlebih dengan simbolik (ngasi coklat, ngelakuin hal yang 'alangkah sweet', dsb.), jadi dengan sangat mantab aku sudah mematangkan rencana untuk benar-benar langsung pulang dari kantor (hari Sabtu usai jam 3 sore) dan tidur di kost. Apa daya - bakal ada opening pameran pada malam harinya. Dengan niat tulus dan ikhlas aku stay di kantor sambil sesekali menelepon sana-sini, memastikan gedung dan segala persiapannya baik-baik saja, terutama kebersihan (sebelumnya ditekankan dengan amat sangat oleh atasanku.) Sekitar jam setengah lima, Titi (salah satu teman di kantor ini yang baru pulang dari mengurus Art Space di Jakarta) datang mengunjungiku. Gatal saling tukar cerita dan saling confirm kebenaran fakta (halah), kami duduk dengan dua cangkir coklat panas (yang disela untuk urusan lampu dan si kamar mandi itu). Jam setengah delapan, turun karena acara sudah dimulai dan aku terkagum-kagum dengan permainan perkusi ala rampak yang menjadi salah satu performance (Titi sibuk temu kangen dengan teman-teman senimannya). Lapar sebenernya - dan sangat ingin melahap sate padang yang dijual di tepi Pendopo tempat berlangsungnya acara, apa boleh buat, yang antri se-Indonesia, bertampang gahar pula. Berkeliling ruang pamer dan sempat bertemu sebentar dengan teman-teman kampus yang menghadiri pemutaran film di gedung lainnya, Titi dan aku berangkat bertamasya dengan becak ke salah satu rumah seniman di daerah... umm... apa itu namanya. Nitiprayan? Begitu kalau ngga salah.
Si seniman ini kuanggap (dan kupaksa, hueuheuehue..) menjadi kakak-ku, dan pertemuan kami bertiga menjadi ajang tumpah ruah curhat oleh Titi (dan aku sesekali, karena sebelumnya sudah pernah menghujankan curhatan juga padanya). Rencana yang awalnya berupa menyambangi si Kakak ini beberapa saat lalu melanjutkan dengan nongkrong sampai pagi hanya berdua dengan Titi, berubah menjadi candle-light-dinner versi kami sendiri. SI Kakak menyalakan lilin yang besarnya aduhai dan berwarna merah, Titi dan aku dengan sangat gapteknya masak mie pakai kayu bakar yang berakibat agak fatal - mienya berwujud gemuk-sehat dengan kuah yang banyak (padahal mie goreng) dan telur yang entah dimana. Satu panci, berdua. ALangkah romantis. Duduk di teras dengan hangatnya api dari tungku sambil ngobrol dan makan mie yang akhirnya diwariskan dengan hormat pada kedua kucing tercinta sang Kakak.
Aku... jauh lebih suka begitu. Tidak perlu mengucapkan "Happy Valentine" atau "Heh!Met Hari Kasih Sayang yaaa..!!", karena rasa sayang yang kuat itu sendiri sudah bicara lebih banyak. =)
Aku tidur dengan lelap melewati dini hari dan merasa bahagia karena akhirnya memiliki akhir minggu yang berbeda dengan yang biasanya (walau terbangun dengan agak tertekan batin paginya karena lagu yang diputar tetangga dengan volume 'lebaiy' itu). Lebih dari segalanya, aku tidak hanya merasa 'dipenuhi' oleh kasih sayang, tapi juga energi dan pandangan-pandangan baru. Eh begini ngga ya tadinya maksudku? Ya begini ajalah. =D
"Hahh? Ah busett buk. Ga ada raya-raya-an buk. Pengen pulang aku. Tidur."
"Aku entar valentine ama siapa ya?"
"Yailaaa.. DI sini ajah kitaa.. Rame-rame.. Kan ada opening pamerannya anak2 Minang itu juga bu.."
"Kak Dibaa...!! Entar pulang jam berapa? Aku kayaknya bakal sendirian di kost... Valentine ama siapa yaah...??"
"Kakaak.. Met Valentine yah.. Peluk cium dari sini.." (kalo yg ini lewat SMS).
Segitunya yah ternyata efek si Valentine ini buat orang-orang. Salah satu adek kost-ku malah rada tersedu-sedu karena cuma bisa sampe sore bareng laki-nya, jadi mereka ga bisa ngerayain si Hari Cinta ini lebih lama... Udah dari seminggu yang lalu hawa-hawanya si Val ini masuk kuping. Jawabanku sama, "Hahh!! Pulang aku. Tidur. Jogja pasti macet parah dimana-mana. Malam minggu pula..", sementara yang lainnya sudah merancang dan mencita-citakan rundown acara untuk sepanjang tanggal 14 Februari.
Aku tidak pernah merayakan si Val ini - terlebih dengan simbolik (ngasi coklat, ngelakuin hal yang 'alangkah sweet', dsb.), jadi dengan sangat mantab aku sudah mematangkan rencana untuk benar-benar langsung pulang dari kantor (hari Sabtu usai jam 3 sore) dan tidur di kost. Apa daya - bakal ada opening pameran pada malam harinya. Dengan niat tulus dan ikhlas aku stay di kantor sambil sesekali menelepon sana-sini, memastikan gedung dan segala persiapannya baik-baik saja, terutama kebersihan (sebelumnya ditekankan dengan amat sangat oleh atasanku.) Sekitar jam setengah lima, Titi (salah satu teman di kantor ini yang baru pulang dari mengurus Art Space di Jakarta) datang mengunjungiku. Gatal saling tukar cerita dan saling confirm kebenaran fakta (halah), kami duduk dengan dua cangkir coklat panas (yang disela untuk urusan lampu dan si kamar mandi itu). Jam setengah delapan, turun karena acara sudah dimulai dan aku terkagum-kagum dengan permainan perkusi ala rampak yang menjadi salah satu performance (Titi sibuk temu kangen dengan teman-teman senimannya). Lapar sebenernya - dan sangat ingin melahap sate padang yang dijual di tepi Pendopo tempat berlangsungnya acara, apa boleh buat, yang antri se-Indonesia, bertampang gahar pula. Berkeliling ruang pamer dan sempat bertemu sebentar dengan teman-teman kampus yang menghadiri pemutaran film di gedung lainnya, Titi dan aku berangkat bertamasya dengan becak ke salah satu rumah seniman di daerah... umm... apa itu namanya. Nitiprayan? Begitu kalau ngga salah.
Si seniman ini kuanggap (dan kupaksa, hueuheuehue..) menjadi kakak-ku, dan pertemuan kami bertiga menjadi ajang tumpah ruah curhat oleh Titi (dan aku sesekali, karena sebelumnya sudah pernah menghujankan curhatan juga padanya). Rencana yang awalnya berupa menyambangi si Kakak ini beberapa saat lalu melanjutkan dengan nongkrong sampai pagi hanya berdua dengan Titi, berubah menjadi candle-light-dinner versi kami sendiri. SI Kakak menyalakan lilin yang besarnya aduhai dan berwarna merah, Titi dan aku dengan sangat gapteknya masak mie pakai kayu bakar yang berakibat agak fatal - mienya berwujud gemuk-sehat dengan kuah yang banyak (padahal mie goreng) dan telur yang entah dimana. Satu panci, berdua. ALangkah romantis. Duduk di teras dengan hangatnya api dari tungku sambil ngobrol dan makan mie yang akhirnya diwariskan dengan hormat pada kedua kucing tercinta sang Kakak.
Aku... jauh lebih suka begitu. Tidak perlu mengucapkan "Happy Valentine" atau "Heh!Met Hari Kasih Sayang yaaa..!!", karena rasa sayang yang kuat itu sendiri sudah bicara lebih banyak. =)
Aku tidur dengan lelap melewati dini hari dan merasa bahagia karena akhirnya memiliki akhir minggu yang berbeda dengan yang biasanya (walau terbangun dengan agak tertekan batin paginya karena lagu yang diputar tetangga dengan volume 'lebaiy' itu). Lebih dari segalanya, aku tidak hanya merasa 'dipenuhi' oleh kasih sayang, tapi juga energi dan pandangan-pandangan baru. Eh begini ngga ya tadinya maksudku? Ya begini ajalah. =D
Jumat, 13 Februari 2009
Dia.
Duduk bersila ia mendengar cerita dengan tekun. Memperhatikan mimik wajah, gerak tangan dan bahasa tubuh. Menyimak dan merekam pilihan kata dan nada suara. Mengamati garis-garis keras wajah, menikmati seutuhnya.
Rasanya pernah seperti ini. Duduk seperti ini, di tempat seperti ini, dengan sosok seperti dia. Tidak cukup terganggu untuk dapat mengingat masa lalu apa yang tanpa sadar terbawa ke saat ini, ia tetap diam dan tersenyum sesekali. Menikmati garis wajahnya, menikmati seutuhnya.
Belum lama mengenal, cukup banyak terucap. Ia menyebutnya 'Kakak', satu sebutan yang dapat menyelamatkannya dari rasa dan pikir yang dapat melukai. Kagum memang, tapi cukup sebatas itu. Tidak lebih. Kata tentang reinkarnasi dan perjuangan akan isu sosial tertentu cukup berat baginya - tapi itu lagu. Untuk pertama kalinya, ia tidak keberatan mendengar pembicaraan berat yang panjang seperti itu. Lagu. Itu lagu baginya.
Menatapnya meraih dan menyapukan kuas, memandangi goretan warna dan berada di dekatnya - lebih dari yang ia harapkan. Rasa itu pun demikian. Ia takut dan tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Ada yang berbeda. Ada sesuatu yang berbeda. Bahagia - dan sakit. Cantik - dan luka. Terlalu takut berharap. Terlalu takut merindukan tawa itu, suara itu. Terlalu takut mencintai - dia.
Rasanya pernah seperti ini. Duduk seperti ini, di tempat seperti ini, dengan sosok seperti dia. Tidak cukup terganggu untuk dapat mengingat masa lalu apa yang tanpa sadar terbawa ke saat ini, ia tetap diam dan tersenyum sesekali. Menikmati garis wajahnya, menikmati seutuhnya.
Belum lama mengenal, cukup banyak terucap. Ia menyebutnya 'Kakak', satu sebutan yang dapat menyelamatkannya dari rasa dan pikir yang dapat melukai. Kagum memang, tapi cukup sebatas itu. Tidak lebih. Kata tentang reinkarnasi dan perjuangan akan isu sosial tertentu cukup berat baginya - tapi itu lagu. Untuk pertama kalinya, ia tidak keberatan mendengar pembicaraan berat yang panjang seperti itu. Lagu. Itu lagu baginya.
Menatapnya meraih dan menyapukan kuas, memandangi goretan warna dan berada di dekatnya - lebih dari yang ia harapkan. Rasa itu pun demikian. Ia takut dan tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Ada yang berbeda. Ada sesuatu yang berbeda. Bahagia - dan sakit. Cantik - dan luka. Terlalu takut berharap. Terlalu takut merindukan tawa itu, suara itu. Terlalu takut mencintai - dia.
Kamis, 12 Februari 2009
Dearest Maids
Like it’s been said
The further you seek, the less should you laid
You searched for a maid
Helped you cope your sanity, yet more games be played
Yelled on things, spelled on affairs
Well maids ain’t machines, there’s a life she bears
Desired for riches
Hunted for treasures
Hopping up the distance
She’s there as an instance
Bet you took her to truth or dare
Did you think she’s just a fare
Salient, aren’t you, took her as a minor
Forgot, haven’t you, how she unrest in your prior
Her hair so lovely
Dark, black and shiny
Beautiful, you thought, while dragging her hair
The more she cried, the more you said she is fair
Amazed by her skin
You touched her from chin
What was next, you knew, then banged her to the wall
The fairy fainted, you smiled, watched her tears fall
She made you tea, bend on her knees
You said a ‘Gee’ as you rubbed her tees
Tried to peek through her door
There she lied on the floor
Nearly died she was,
But freedoms don’t come fast
Lack of ideas on stealing her beauty
You took the iron and swab her slowly
As if the cigars couldn’t do much
You took the fuel and burnt her like branch
No wonder like what’s been said
To hell it has this world turned plaid
We believe there’s more like you
Nasty and cruel just like you do
We believe there’s more like you
So sad, a pity, still lots in mute
The further you seek, the less should you laid
You searched for a maid
Helped you cope your sanity, yet more games be played
Yelled on things, spelled on affairs
Well maids ain’t machines, there’s a life she bears
Desired for riches
Hunted for treasures
Hopping up the distance
She’s there as an instance
Bet you took her to truth or dare
Did you think she’s just a fare
Salient, aren’t you, took her as a minor
Forgot, haven’t you, how she unrest in your prior
Her hair so lovely
Dark, black and shiny
Beautiful, you thought, while dragging her hair
The more she cried, the more you said she is fair
Amazed by her skin
You touched her from chin
What was next, you knew, then banged her to the wall
The fairy fainted, you smiled, watched her tears fall
She made you tea, bend on her knees
You said a ‘Gee’ as you rubbed her tees
Tried to peek through her door
There she lied on the floor
Nearly died she was,
But freedoms don’t come fast
Lack of ideas on stealing her beauty
You took the iron and swab her slowly
As if the cigars couldn’t do much
You took the fuel and burnt her like branch
No wonder like what’s been said
To hell it has this world turned plaid
We believe there’s more like you
Nasty and cruel just like you do
We believe there’s more like you
So sad, a pity, still lots in mute
Alanis
So do tell me please, Alanis…
What is it that rips your lips
Should you be in freeze
Floating along with breeze
You were the charm
Who did you this harm?
Speak, Alanis, speak…
Long for your sound to hear, not any sight I seek
How can you be so melancholic
It’s not a drama, no need to hide
Though cruel is life, you still have pride
Look at me, Alanis, look m in the eye…
You cross your legs so tight
Cuddling on your own without a single light
I heard you left for a chase of life
Now here you are your soul so shy
Are those tears, Alanis, down your fair cheeks?
Those bright eyes dimmed
That gentle smile feared
Do me a favor, be kind to tell
What turned your life to such a hell
Don’t, Alanis, don’t…
Put down that knife, do shut that grin
What’s in mind, death ain’t an end
Surrender isn’t the word, fight is the theme
What you’ve faced is the code, you’re stronger than you seem
Now I know, Alanis, do cry no more…
You’re not alone, there are a lot
No use of moan, let’s do a bold
They might forget who bring them life
They would regret we’re still alive
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
Wipe off the tears, for tears don’t cheer
There’ll be no fears, the light is near
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
We’re called women, we deserved more.
What is it that rips your lips
Should you be in freeze
Floating along with breeze
You were the charm
Who did you this harm?
Speak, Alanis, speak…
Long for your sound to hear, not any sight I seek
How can you be so melancholic
It’s not a drama, no need to hide
Though cruel is life, you still have pride
Look at me, Alanis, look m in the eye…
You cross your legs so tight
Cuddling on your own without a single light
I heard you left for a chase of life
Now here you are your soul so shy
Are those tears, Alanis, down your fair cheeks?
Those bright eyes dimmed
That gentle smile feared
Do me a favor, be kind to tell
What turned your life to such a hell
Don’t, Alanis, don’t…
Put down that knife, do shut that grin
What’s in mind, death ain’t an end
Surrender isn’t the word, fight is the theme
What you’ve faced is the code, you’re stronger than you seem
Now I know, Alanis, do cry no more…
You’re not alone, there are a lot
No use of moan, let’s do a bold
They might forget who bring them life
They would regret we’re still alive
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
Wipe off the tears, for tears don’t cheer
There’ll be no fears, the light is near
It’s you and I, Alanis, and a lot more…
We’re called women, we deserved more.
Selasa, 10 Februari 2009
Sheryl, Sheryl ...
Oh thou, thy mighty shines
Neither height you reach nor soul you bleach
Sheryl, Sheryl, what’s your will
Thou shattered and flattered, there troubles in feel
Yet northern star burns,
Yet golden sun blooms
Sheryl, Sheryl, you stay still
Thy wings are narrow, how fragile art thee
Dancing on pillows, thy smile bring sorrow
Scratched black gown with scars so smooth
Bend in humble with tunes by flute
Sheryl, Sheryl, your bitters chill
Too young for humming the blues
Too sweet to walk in woods
Sheryl, Sheryl, thy starvation kills
Thy poverty bleeds
Restless eyes seeking for pills
Smiling cheeks blushing but grills
Sheryl, Sheryl, art thou questioning hills
Remind me of an old cassette
When life’s not so brunette
Now as I lit the cigarette
The air in anger it looks scarlet
Sheryl, Sheryl, do not yet fade
Do not dimmed, do not pale
Sheryl, Sheryl, whistle through the rain
Do free from the pain
Release thy chain
Do dance again
Sheryl, Sheryl, though so it aches
Though life still fakes
Sheryl, Sheryl, fight the tears
Sheryl, Sheryl, thou should live
Neither height you reach nor soul you bleach
Sheryl, Sheryl, what’s your will
Thou shattered and flattered, there troubles in feel
Yet northern star burns,
Yet golden sun blooms
Sheryl, Sheryl, you stay still
Thy wings are narrow, how fragile art thee
Dancing on pillows, thy smile bring sorrow
Scratched black gown with scars so smooth
Bend in humble with tunes by flute
Sheryl, Sheryl, your bitters chill
Too young for humming the blues
Too sweet to walk in woods
Sheryl, Sheryl, thy starvation kills
Thy poverty bleeds
Restless eyes seeking for pills
Smiling cheeks blushing but grills
Sheryl, Sheryl, art thou questioning hills
Remind me of an old cassette
When life’s not so brunette
Now as I lit the cigarette
The air in anger it looks scarlet
Sheryl, Sheryl, do not yet fade
Do not dimmed, do not pale
Sheryl, Sheryl, whistle through the rain
Do free from the pain
Release thy chain
Do dance again
Sheryl, Sheryl, though so it aches
Though life still fakes
Sheryl, Sheryl, fight the tears
Sheryl, Sheryl, thou should live
Rabu, 04 Februari 2009
DorotheaDiba - The Devil Wears Prada
Ever seen a movie titled "The Devil Wears Prada"? It's based on a novel with the exact same title.
Bos nih ya. Perfeksionis. Jenis perfect yang hampir ngga masuk akal. Bisa ngasi arahan (perintah?) bertubi-tubi sampai rada bingung sendiri harus ngerjain yang mana duluan. Keren, adorable - lebih karena pembawaan diri, sikap tenang yang cenderung dingin, intelektualitas dan status sosial. She's a female.
I got the male version.
Mari berdoa semoga tulisan ini tidak terbaca oleh Beliau dan kalaupaun ya - tidak berdampak negatif bagi nusa dan bangsa.
Selain sifat dan sikap diatas, ada satu hal yang masih belum bisa aku mengerti. Umm.. Gimana ya ceritanya? Gini deh..contohnya begini..
One day, Beliau meminta salah satu staff manajemen museum untuk nge-handle satu rencana, bersama denganku. Dari awal yang bolakbalik busabusa ngub pihak luar yang bakal berurusan sama kita itu ya aku. Sempat sang staff ini minta email dan sebangsanya dari si pihak luar buat diforward ke dia, katanya biar dia yg update (yang ternya ta enggak, sodarasodara..ujung2nya aku jg yang update)..
Inti-intinya, ni rencana batal..
Sehari sebelum jadwal seharusnya rencana itu diadakan, aku lagi ada pelatihan putukupi, dan dengan sukses lupa ngasi tau atasanku. Catatan: atasanku tegas. dan galak ketika Beliau bergeser menjadi 'sangat tegas'.
Besok paginya, aku ngasi tau si kebatalan ini via YM (atas saran sang staff manajemen, laian ngubungin lewat telepon susah). Rada siang sang Bos datang, dengan muka yang sangat ramah dan jauh dari kesan 'Saya harap semua kerjaan beres, jangan coba-coba macam-macam'. Rada sore, paniklah si staff yang tadi ditambah staff satunya. Yang satu mulai kirim SMS ke aku pake tanda seru (yang aku ga suka, karena berasa tiba2 dibentak), yang satu lagi nelepon dengan nada panik. Duaduanya panik. Pas aku lagi makan siang.
Sang atasan blas ngga nanyain apapun ke aku ttg batalnya acara itu sebelumnya, jadi aku pikir everything's fine karena toh aku juga udah bilang sebelumnya lewat YM. Lah kenapa dua orang ini panik sebegitunya??
Akhirnya aku kirim SMS mengulang berita kebatalan itu, panjang lebar dan dengan hati-hati. Aku udah mikir bakal tiba-tiba ditelepon dan ditanyain rinci banget dengan nada super-rendah, ternyata enggak tuh...Baik-baik aja...
Udah ngerti kan apa yang belum aku mengerti dari Beliau?
Udah?
Belum?
Sama.
Aku lagi bingung, semua kerjaan udah kelar, jadi ngetiknya ngawur begini.
Heuehueuhe...
Maaf... =)
Bos nih ya. Perfeksionis. Jenis perfect yang hampir ngga masuk akal. Bisa ngasi arahan (perintah?) bertubi-tubi sampai rada bingung sendiri harus ngerjain yang mana duluan. Keren, adorable - lebih karena pembawaan diri, sikap tenang yang cenderung dingin, intelektualitas dan status sosial. She's a female.
I got the male version.
Mari berdoa semoga tulisan ini tidak terbaca oleh Beliau dan kalaupaun ya - tidak berdampak negatif bagi nusa dan bangsa.
Selain sifat dan sikap diatas, ada satu hal yang masih belum bisa aku mengerti. Umm.. Gimana ya ceritanya? Gini deh..contohnya begini..
One day, Beliau meminta salah satu staff manajemen museum untuk nge-handle satu rencana, bersama denganku. Dari awal yang bolakbalik busabusa ngub pihak luar yang bakal berurusan sama kita itu ya aku. Sempat sang staff ini minta email dan sebangsanya dari si pihak luar buat diforward ke dia, katanya biar dia yg update (yang ternya ta enggak, sodarasodara..ujung2nya aku jg yang update)..
Inti-intinya, ni rencana batal..
Sehari sebelum jadwal seharusnya rencana itu diadakan, aku lagi ada pelatihan putukupi, dan dengan sukses lupa ngasi tau atasanku. Catatan: atasanku tegas. dan galak ketika Beliau bergeser menjadi 'sangat tegas'.
Besok paginya, aku ngasi tau si kebatalan ini via YM (atas saran sang staff manajemen, laian ngubungin lewat telepon susah). Rada siang sang Bos datang, dengan muka yang sangat ramah dan jauh dari kesan 'Saya harap semua kerjaan beres, jangan coba-coba macam-macam'. Rada sore, paniklah si staff yang tadi ditambah staff satunya. Yang satu mulai kirim SMS ke aku pake tanda seru (yang aku ga suka, karena berasa tiba2 dibentak), yang satu lagi nelepon dengan nada panik. Duaduanya panik. Pas aku lagi makan siang.
Sang atasan blas ngga nanyain apapun ke aku ttg batalnya acara itu sebelumnya, jadi aku pikir everything's fine karena toh aku juga udah bilang sebelumnya lewat YM. Lah kenapa dua orang ini panik sebegitunya??
Akhirnya aku kirim SMS mengulang berita kebatalan itu, panjang lebar dan dengan hati-hati. Aku udah mikir bakal tiba-tiba ditelepon dan ditanyain rinci banget dengan nada super-rendah, ternyata enggak tuh...Baik-baik aja...
Udah ngerti kan apa yang belum aku mengerti dari Beliau?
Udah?
Belum?
Sama.
Aku lagi bingung, semua kerjaan udah kelar, jadi ngetiknya ngawur begini.
Heuehueuhe...
Maaf... =)
Langganan:
Postingan (Atom)